Apresiasi Cerpen “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” melalui Pendekatan Objektif dengan Telaah Struktural
TUGAS AKHIR
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Apresiasi Prosa Fiksi
yang dibina oleh Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd.
Oleh
Siti Afifatur Rohmah
110211413017
Offering AA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH
Desember 2012
Klown dengan Lelaki Berkaki Satu
Karya Ratna Indaswari Ibrahim
Tom, kau masih ingat kan,
ketika ibunya Klown meninggal (badut yang kita sayangi sejak kecil),
berduyun-duyun orang bertakziyah (waktu itu kita baru berumur 10 tahun).
Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air
matanya. Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum
dan jatuh satu per satu!
Aku tercengang!
Setelah peristiwa itu
(yang selalu menjadi obsesiku), bertahun-tahun kemudian, aku bertemu lagi
dengan pak Klown, secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke
Malang dengan kereta api. Kami duduk bersebelahan, dia segera tahu siapa aku.
Pak Klown tersenyum kepadaku.
***
Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown.
Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown.
Di kereta api ini beberapa orang menghampiri dan menyalami pak
Klown. (Mereka kelihatan tersenyum, bahkan ada beberapa yang tertawa geli).
Padahal aku tahu, pak Klown tidak sedang melawak. Ketika rombongan itu sudah
pergi, pak Klown menoleh (aku sedang membaca buku).
”Aku senang, melihat kau suka membaca!”
”Pak Klown juga membaca?”
”Yah, aku membaca setiap kali ada kesempatan.”
”Maaf, di setiap lakon yang kulihat, peran pak Klown kok cuma jadi
pembantu tua yang bodoh!”
”Ya, aku sudah tua dan hanya berperan itu-itu saja. Namun bukan
berarti, aku tidak butuh membaca buku. Menurutku peran itu tidak hanya
menampilkan kebodohan, tapi cara kita menertawakan diri sendiri. Ini sulit,
karena ego melindungi kelemahan dan perlu keberanian untuk menetralisir ego
itu.”
Aku Ona, perempuan muda (dua puluh dua tahun) melihatnya. Dan
kukatakan, ”Aku akan belajar dengan pak Klown selama libur semester ini. Aku
jenuh mempelajari ilmu di bangku kuliah.”
”Aku suka ngobrol dengan kamu.”
***
Tom, kemudian dia tidur
dalam perjalanan yang jauh ini. Entahlah, mengapa baru sekarang aku
menceritakan kepadamu sejujur mungkin tentang pak Klown.
Klown terbangun lagi. ”Ini tidur yang nyenyak sekali, kita sudah
sampai di Jogja? Kau tahu, kami pernah manggung di kota ini. Tapi yang datang
tidak banyak, karena di panggung lain ada musik dari Jakarta. Beberapa temanku
sedih dan bilang, kita sudah terlampau tua untuk digemari anak-anak muda.
Melihat kursi yang hanya terisi beberapa orang, tiba-tiba kami semua merasa
sedih dan menangis bersama. Ketika dalam situasi kacau, kami harus naik
panggung! Namun, kala itu para penonton tertawa sembari memegang perutnya.
Gemuruh tawa mereka luar biasa. Padahal saat itu, salah seorang
teman kami ayahnya seminggu yang lampau meninggal, tapi aktingnya luar biasa,
dialah yang menyulut tawa para penonton.”
Tom, aku nyeri
mendengar buntut percakapan itu. Aku kira selama ini, apa pun yang dia lakukan
di panggung mengalir begitu saja.
”Jadi selama ini pak Klown akting?”
”Aku memang harus belajar keras untuk akting seperti itu. Padahal,
selama ini aku tidak pernah berpikir untuk jadi pelawak yang harus mengerti
filosofi kehidupan. Waktu itu aku cuma menggantikan seorang senior yang sakit
dan kulakukan itu dengan semangat muda yang sedang mencari identitas. Sebab,
semua orang di kampung tahu, ayahku cuma gemar menikah tanpa pernah peduli pada
anak-anak hasil pernikahannya. Masa kecilku lebih banyak kulewati dengan
kesedihan, kesendirian dan selalu kurindukan seorang ayah yang bisa mengajakku
jalan-jalan.
Setelah bertahun-tahun
kemudian baru kutemukan sosok itu, adik sepupu ayahku yang pulang kampung
karena kecelakaan lalu lintas, sehingga berkaki satu. Dari dia, aku belajar
bagaimana orang bisa sabar melihat kelemahan setiap manusia. Salah satu caranya
dengan melucu. Bersamanyalah aku baru tahu, melucu itu harus belajar!”
Sebelum muncul pertanyaan lain dariku, sekali lagi banyak orang
merubung pak Klown dan terpingkal-pingkal. Lantas kulihat pak Klown ingin
beranjak dari tempat ini, ”Saya akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa
lagi. Dengan terbirit-birit pak Klown masuk ke kamar kecil itu.
Aku sekarang yang mulai
mengantuk. Tiba-tiba kudengar napas pak Klown dan aku bicara pelan-pelan, ”Pak
Klown apa sedang akting?”
”Aku mengantuk, hampir dua malam tidak bisa tidur, keinginan yang
sederhana kan?”
”Ona, kalau kamu mau, aku bisa mendidikmu menjadi pelawak
perempuan yang berkesan tidak bodoh. Ini memang tidak mudah, tapi aku tahu, kau
pasti bisa.”
Waktu itu, aku menggelengkan kepala.
Aku sedang belajar akuntansi dan dia bilang begini, ”Menjadi
pelawak bukan sekadar mesin tertawa, tapi belajar menyeimbangkan otak kiri dan
kanan dan menghibur orang lain. Itu pelajaran yang sulit, butuh kesungguhan dan
kerja keras.”
”Aku tahu, tapi aku merasa tidak perlu berada di dunia itu.”
Pak Klown menganggukkan
kepalanya, dan berkata begini, ”Kalau dunia ini tidak ada pelawak lagi, lantas
bagaimana ya? Apa kita cuma harus belajar ilmu kesehatan, matematika dan cuaca
hari ini? Apa dunia pelawak sudah tidak bisa dianggap sebuah hiburan yang
membebaskan diri kita sendiri, kalau sudah banyak klub-klub malam, mimpi-mimpi
yang dirangkai oleh pengusaha dalam bentuk sinetron?”
”Ona, di tahun-tahun ini aku tidak melihat lagi orang-orang yang
bersenda gurau seolah-olah itu tabu, tidak efisien dan efektif. Karena bentuk
dari dunia modern hanya orang yang bekerja keras dan orang-orang yang melipat
bibirnya, mereka sudah melupakan senda gurau itu bahkan anak-anak yang belajar
di SD tidak bisa tertawa lagi karena beban di sekolahnya terlampau berat.”
Pernyataannya kelewat berat,
ketika kulihat wajahnya dia tidak akting. Lantas pak Klown meneruskan
ceritanya, ”Keempat anakku tidak ingin seperti diriku. Kau tahu sendiri,
setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota dan jarang pulang. Teman-teman
anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya seorang pelawak, aku pernah dengar
cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul di TV mereka tidak pernah ingin
menontonku.
Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan seperti bapak teman mereka,
apalagi peranku dalam dunia lawak sering sebagai pembantu yang di pundaknya
selalu ada lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin melihatku seperti itu di
luar panggung, kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik mimpi mereka, kau
tahu suatu kali anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku menaruh lap di pundaknya,
dan seorang temannya yang masuk ke kamar itu nyeletuk, ’Doni, kamu setolol
pelawak itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu itu anakku merasa dicekik, dia
bilang begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol, tidak seperti bapakmu yang
pejabat.”
”Pak Klown, pelawak kan
pekerjaan yang butuh keseimbangan antara rasio dan rasa dan panjenengan
(Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.”
Pak Klown tidak menjawab, namun dia kelihatan resah, lantas kami
berdua terdiam.
Tom yang baik, kukatakan pada pak Klown, apa yang dia lakukan
adalah keberanian, sekalipun menjadi badut bukan tempat terhormat di masyarakat
kini.
Pak Klown membenarkan ucapanku, dia juga bilang begini, ”Tidak ada
yang bisa dibanggakan dengan menjadi pelawak saat ini, memang sebaiknya
teruskan kuliah dan menjadi akuntan seperti cita-citamu, sebab menjadi orang
yang berseberangan dengan orang lain sungguh tidak mudah, apalagi semua orang
pada saat ini punya cita-cita bersama, di luar itu adalah kegilaan.”
”Tapi pak Klown bahagia kan bekerja seperti ini?”
”Saya tidak tahu Ona, apakah ini seperti ketika kita mengisap
rokok yang sudah menjadi kebiasaan rutin dan melekat atau ada hal lain,
popularitas dan uang.”
Aku ingin berkata lebih lanjut, tapi kehidupan pak Klown seperti
jarum jam yang berputar terbalik, dia harus segera pulang, dan selang beberapa
jam kemudian melawak ke kota lain.
***
Tom, kau pasti berpikir
aku lagi kacau! Sebetulnya bukan itu, beberapa teman mama menawarkan pekerjaan
kalau aku lulus S1. Aku beruntung kan! Beberapa kakak kelasku yang sudah
sarjana belum dapat pekerjaan, apalagi yang kucari! Sebulan yang lampau
orangtua kita berunding akan mengukuhkan hubungan kita dengan pernikahan.
Lantas apalagi? Aku sudah mendapatkan apa pun yang diimpikan setiap perempuan
muda!
Tom yang baik, tapi sejak bertemu dengan pak Klown mimpiku semakin
liar dan saling berkejaran. Lantas, aku kepingin mengkaji ulang kehidupan yang
kita impikan bersama. Bekerja di suatu lembaga dari jam sembilan sampai jam
lima sore, memiliki dua anak yang sehat dan manis, rumah mungil, mobil yang
bisa membawa kita pergi ke mana saja.
***
Lantas di jam satu
malam itu kami ngobrol tentang dunia pelawak, pada saat itu kami tertawa
bersama! Dan ketika sampai di Malang, tiba-tiba aku kepingin belajar tentang
ilmu melawak secara keseluruhan. Kemudian kami sepakat untuk mencari sebuah
tempat yang nyaman di mana pak Klown bisa memberikan seluruh ilmu lawaknya
kepadaku. Berhari-hari, sampai bulan ketiga, secara maraton siang malam, aku
belajar sari pati kehidupan dari dunia lawak. Dan akhirnya pak Klown berkata,
”Kau sudah mendapatkan sebagian ilmuku.”
Aku tahu maksudnya, dia akan menyerahkan seluruhnya. Lantas
kumantapkan hari itu untuk menyerap seluruh ilmu itu. Karena kami adalah dua
tubuh yang berbeda, baik itu latar belakang sosial maupun pendidikan. Kami
meleburkan itu, dengan tidur bersama, sehingga menjadi dua senyawa yang
menyatu.
Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi!
Malang, 4 Februari-31 Maret 2010
A. Unsur
Intrinsik
1. Tokoh
atau penokohan
Tokoh (character) yang akan dibahas dalam cerpen adalah “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” adalah tokoh yang
memegang peranan penting, yaitu Klown (sebagai tokoh utama), aku atau Ona
(sebagai tokoh pembantu), Tom (sebagai tokoh pembantu), dan lelaki berkaki satu
(hanya diceritakan tokoh utama).
(a)
Klown
(sebagai tokoh utama)
Klown digambarkan oleh pengarang
sebagai seorang laki-laki tua yang
berprofesi sebagai seorang pelawak. ”Menjadi
pelawak bukan sekadar mesin tertawa, tapi belajar menyeimbangkan otak kiri dan kanan
dan menghibur orang lain. Itu pelajaran yang sulit, butuh kesungguhan dan kerja
keras.” Watak dari tokoh Klown adalah baik, buktinya ”Ona, kalau kamu mau, aku bisa mendidikmu menjadi pelawak
perempuan yang berkesan tidak bodoh. Ini memang tidak mudah, tapi aku tahu, kau
pasti bisa”. Ramah, buktinya “pak Klown menoleh (aku sedang membaca buku).
”Aku senang, melihat kau suka membaca!”
”Pak Klown juga membaca?”
”Yah, aku membaca setiap kali ada
kesempatan.”
”Maaf, di setiap lakon yang kulihat,
peran pak Klown kok cuma jadi pembantu tua yang bodoh!”
”Ya, aku sudah tua dan hanya berperan
itu-itu saja. Namun bukan berarti, aku tidak butuh membaca buku. Menurutku
peran itu tidak hanya menampilkan kebodohan, tapi cara kita menertawakan diri
sendiri. Ini sulit, karena ego melindungi kelemahan dan perlu keberanian untuk
menetralisir ego itu.”
. Selalu membuat orang di sekitar ingin
tertawa ketika melihatnya, buktinya, “ Sebelum muncul pertanyaan lain dariku, sekali lagi banyak orang
merubung pak Klown dan terpingkal-pingkal. Lantas kulihat pak Klown ingin
beranjak dari tempat ini, ”Saya akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa
lagi. Dengan terbirit-birit pak Klown masuk ke kamar kecil itu. Membagi
ilmunya kepada aku atau Ona , ”Kau sudah mendapatkan sebagian ilmuku.”
Aku tahu
maksudnya, dia akan menyerahkan seluruhnya. Lantas kumantapkan hari itu untuk
menyerap seluruh ilmu itu.
(b)
Aku
atau Ona (sebagai tokoh pembantu)
Tokoh Aku tidak banyak diceritakan oleh pengarang hanya
diceritakan tokoh Aku atau Ona sebagai orang yang dekat dengan Klown. Aku atau
Ona digambarkan oleh pengarang sebagai perempuan
muda (dua puluh dua tahun) seorang mahasiswi jurusan akutansi yang ingin
mendalami dunia pelawak meski tidak sejalan dengan apa yang ia tekuni di bangku
kuliah namun ia tetap ingin belajar menjadi seorang pelawak. Watak dari “Aku atau Ona” adalah baik, buktinya ”Aku akan belajar dengan pak Klown selama libur semester ini. Aku
jenuh mempelajari ilmu di bangku kuliah.”. Di sini diceritakan bahwa si tokoh aku atau Ona
ingin belajar kepada pak Klown menjadi seorang pelawak, padahal banyak orang
yang mencibirnya dan menganggap sebelah mata bahkan anak dari pelawak itu tidak
ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pelawak.
(c)
Tom
(sebagai tokoh pembantu )
Tokoh Tom tidak banyak diceritakan
oleh pengarang, tokoh Tom hanya sebagai tokoh pembantu yang dimunculkan dalam
cepen ini, Tom yang baik, kukatakan
pada pak Klown, apa yang dia lakukan adalah keberanian, sekalipun menjadi badut
bukan tempat terhormat di masyarakat kini.
(d)
Lelaki Berkaki Satu (adik sepupu ayahnya yang
diceritakan oleh Klown) à memberikan
pelajaran yang sangat berharga sekali kepasda Klown, dengan dia Klown bisa
belajar akan kesabaran, buktinya Setelah
bertahun-tahun kemudian baru kutemukan sosok itu, adik sepupu ayahku yang
pulang kampung karena kecelakaan lalu lintas, sehingga berkaki satu. Dari dia,
aku belajar bagaimana orang bisa sabar melihat kelemahan setiap manusia. Salah
satu caranya dengan melucu. Bersamanyalah aku baru tahu, melucu itu harus belajar!”
2. Latar
atau setting
Latar tempat, waktu, dan
suasana yang terdapat dalam sebuah cerpen “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” tampak jelas digambarkan dalam cepen ini.
a)
Latar tempat
·
Di sudut rumah à Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air
matanya. Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum
dan jatuh satu per satu.
· Di kereta api à Di kereta api ini beberapa orang menghampiri dan menyalami pak
Klown. (Mereka kelihatan tersenyum, bahkan ada beberapa yang tertawa geli).
Padahal aku tahu, pak Klown tidak sedang melawak. Ketika rombongan itu sudah
pergi, pak Klown menoleh (aku sedang membaca buku).
· Di Kota Malang à Dan ketika sampai di Malang, tiba-tiba aku kepingin belajar
tentang ilmu melawak secara keseluruhan. Kemudian kami sepakat untuk mencari
sebuah tempat yang nyaman di mana pak Klown bisa memberikan seluruh ilmu
lawaknya kepadaku.
· Kamar kecil à Lantas kulihat pak Klown ingin beranjak dari tempat ini, ”Saya
akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa lagi. Dengan terbirit-birit pak
Klown masuk ke kamar kecil itu.
b. Latar waktu
· Tengah malam mendekati pagi à Lantas di jam satu malam itu kami ngobrol tentang dunia pelawak,
pada saat itu kami tertawa bersama!
c. Latar
suasana
·
Menegangkan à”Keempat anakku tidak ingin seperti diriku. Kau tahu sendiri,
setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota dan jarang pulang. Teman-teman
anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya seorang pelawak, aku pernah dengar
cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul di TV mereka tidak pernah ingin
menontonku. Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan seperti bapak teman mereka,
apalagi peranku dalam dunia lawak sering sebagai pembantu yang di pundaknya
selalu ada lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin melihatku seperti itu di
luar panggung, kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik mimpi mereka, kau
tahu suatu kali anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku menaruh lap di
pundaknya, dan seorang temannya yang masuk ke kamar itu nyeletuk, ’Doni, kamu
setolol pelawak itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu itu anakku merasa
dicekik, dia bilang begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol, tidak seperti
bapakmu yang pejabat.”
·
Resah
à ”Pak Klown, pelawak kan pekerjaan yang butuh keseimbangan antara
rasio dan rasa dan panjenengan (Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.” Pak Klown tidak menjawab, namun dia kelihatan resah, lantas kami
berdua terdiam.
3. Alur
Alur cerpen ini cukup sederhana secara keseluruhan cerpen “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” menggunakan alur maju.
4. Sudut
pandang
Sudut pandang dalam cerpen “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” ini adalah sudut pandang orang
pertama “aku” sebagai tokoh pembantu.
B. Unsur
Ekstrinsik
1. Tema
Tema yang terdapat
dalam “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu” adalah Kesabaran dan semangat pak Klown sebagai
seorang pelawak yang hanya di anggap rendah di mata orang lain.
Pernyataannya kelewat berat, ketika kulihat wajahnya dia tidak
akting. Lantas pak Klown meneruskan ceritanya, ”Keempat anakku tidak ingin
seperti diriku. Kau tahu sendiri, setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota
dan jarang pulang. Teman-teman anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya
seorang pelawak, aku pernah dengar cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul
di TV mereka tidak pernah ingin menontonku.
Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan
seperti bapak teman mereka, apalagi peranku dalam dunia lawak sering sebagai
pembantu yang di pundaknya selalu ada lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin
melihatku seperti itu di luar panggung, kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik
mimpi mereka, kau tahu suatu kali anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku
menaruh lap di pundaknya, dan seorang temannya yang masuk ke kamar itu
nyeletuk, ’Doni, kamu setolol pelawak itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu
itu anakku merasa dicekik, dia bilang begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol,
tidak seperti bapakmu yang pejabat.”
”Pak Klown, pelawak kan pekerjaan yang butuh keseimbangan antara
rasio dan rasa dan panjenengan (Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.”
Pak Klown tidak menjawab, namun dia
kelihatan resah, lantas kami berdua terdiam.
2. Amanat
Amanat yang terkandung dalam cerpen “Klown dengan
Lelaki Berkaki Satu” adalah sebagai berikut.
·
Kesabaran
pak Klown sebagai seorang pelawak yang hanya di anggap rendah oleh masyarakat.
·
Kebaikan
pak Klown yang mau menularkan ilmu pelawaknya kepada Ona.
·
Kegigihan
dan keikhlasan seorang pak Klown dalam menjalani pekerjaannya sebagai seorang
pelawak.
·
Hendaknya
kita saling menghargai apapun pekerjaannya, asalkan pekerjaan itu halal dan tidak
merugikan orang lain.
· Belajar dari kelemahan setiap orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar